Warisan Leluhur, Genetika, dan Imaji Nusantara Baru

Saya pernah berseloroh ketika seorang teman berkata bahwa nenek moyang Nusantara itu sakti-sakti dan hebat-hebat. Ungkapan yang saya lontarkan sederhana: jika benar demikian, kemungkinan besar bangsa kita tidak akan dikelabui Belanda dan bangsa Eropa lainnya.

Di balik sindiran itu, ada pesan yang ingin saya sampaikan bahwa sehebat apa pun leluhur kita, mereka tetaplah manusia. Mereka memiliki kelebihan dan kelemahan, sama seperti kita. Menempatkan leluhur secara hiperbolik justru berisiko mengabaikan sisi manusiawi mereka.

Sejarah mengajarkan bahwa masyarakat Nusantara di masa lalu pun terbagi dalam ragam karakter. Ada yang mulia, ada pula yang tercela.

Kita mengenal raja dan resi yang arif bijaksana, tetapi di sisi lain juga ada penjudi, penyabung ayam, hingga perampok yang tergabung dalam kelompok yang disebut Tuccha. Keberadaan norma, aturan, dan hukum pada masa lampau lahir dari kebutuhan untuk menertibkan kehidupan sosial yang tidak steril dari keburukan.

Genetika lalu menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Melalui kromosom, sifat dan tabiat leluhur diwariskan kepada generasi penerus. Karena itu, tidaklah mengherankan bila karakter manusia modern kerap mencerminkan pola-pola lama.

Apa yang kita saksikan saat ini dalam perilaku sosial maupun politik bisa ditelusuri pada akar panjang yang bersemayam dalam garis keturunan.

Pertanyaan menggelitik pun muncul: mengapa banyak pejabat negeri ini terjerat kasus korupsi? Jawaban sederhana, mereka tidak berdiri sendiri. Alam bawah sadar dan dorongan terdalam dalam diri mereka dipengaruhi oleh jejak leluhur.

Mereka mungkin adalah keturunan para komprador yang di masa lalu bersekongkol dengan kolonial, menindas bangsanya sendiri demi kepentingan pribadi. Sejarah mencatat, para pengkhianat bangsa tidak hanya menggadaikan tanah, tetapi juga martabat.

Dalam kerangka filsafat, hal itu bisa dipahami sebagai perpaduan genetika dan lingkungan, dalam bentuk konvergensi. Seseorang tidak hanya dibentuk oleh darah yang mengalir dari leluhur, tetapi juga oleh ekosistem sosial yang mengitarinya.

Jika leluhur mereka adalah pengkhianat, dan lingkungannya kini juga subur dengan praktik serupa, maka tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti mendapat panggung untuk terus berulang.

Bila kita menengok ramalan Jayabaya dan Ranggawarsita, keduanya seolah memberi isyarat tentang masa depan bangsa yang suram. Gambaran zaman edan bukan sekadar fantasi, melainkan intuisi yang mungkin lahir dari pembacaan atas DNA sosial bangsa.

Mereka “menerima wangsit” karena mampu menangkap sinyal dari dimensi terdalam kehidupan manusia, bahwa generasi penerus, bila terus dipenuhi keturunan komprador, akan menjerumuskan Nusantara dalam kehancuran moral dan sosial.

Dari sudut pandang sejarah, ramalan itu terbukti relevan. Kemakmuran hanya dijadikan slogan, kesejahteraan rakyat hanyalah janji kosong, dan cita-cita luhur tata tentrem karta raharja berubah menjadi utopia. Semua runtuh bersama kerakusan manusia terhadap jabatan dan materi. Di sinilah kita melihat kesinambungan antara kutukan sejarah dan realitas kekinian.

Namun, sejarah tidak berhenti di titik getir. Ia selalu membuka peluang perubahan. Memutus rantai warisan komprador bukan hal mustahil.

Kuncinya terletak pada kesadaran untuk kembali ke dalam, menghidupkan dimensi batin yang terkoneksi dengan leluhur yang arif. Dalam tradisi Nusantara, spiritualitas menjadi jalan pembebasan, mengingatkan bahwa manusia bisa menata ulang arah hidupnya meskipun terikat oleh warisan genetik.

Maka, yang dibutuhkan sekarang bukan glorifikasi leluhur dengan narasi sakti-mandraguna, melainkan keberanian meneladani mereka yang benar-benar berbudi luhur. Kita perlu membangkitkan kembali sinyal moralitas dan kebijaksanaan dari para raja, resi, atau pemimpin yang pernah mengutamakan rakyat di atas dirinya.

Dengan begitu, sebuah Nusantara baru bisa lahir. Bukan Nusantara yang dipimpin oleh keturunan pengkhianat, melainkan oleh generasi yang sadar sejarah, berani melawan genetika buruk, dan sanggup menyulam kembali peradaban. Inilah jalan panjang untuk keluar dari zaman edan dan menuju tata dunia yang lebih adil dan bermartabat.
Lebih baru Lebih lama