Buku berjudul “Tiada Ojek di Paris” merupakan kumpulan essai bernas Seno Gumira Ajidarma dalam menyibak dan menarasikan ragam hal alam perkotaan. Kehadiran dunia urban dan wacana yang menyertainya memang selalu menjadi objek empuk pembahasan. Entah itu ditulis dalam artikel, laporan, hingga penelitian serius tentangnya. Penuturnya juga –apalagi di zaman sekarang- bukan hanya orang-orang yang memiliki kompetensi membahas seluk-beluk perkotaan, siapapun seolah berhak membicarakan, mendiskusikan, memperbincangkan, hingga mengolok-olok kondisi kotanya sendiri.
Bukan hanya karena kota memiliki daya tarik untuk diperbincangkan dan tidak hanya menarik diperbicangkan oleh manusia kontemporer saja. Dunia urban adalah alam komplek dan heterogen sudah selayaknya setiap peristiwa dan situasi tentangnya diperbincangkan dari beragam sudut pandang. Kehadiran kota-kota di “dunia lama” beberapa abad sebelum masehi tidak luput dari pembahasan para peneliti dan penulis.
Meskipun buku Armstrong berjudul “Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan” seperti hendak menggiring kognisi kita menautkan pertalian antara agama dan kekerasan, tetapi jika dikaji lebih adil, topik pembahasan penting buku ini justru menyoal irisan antara kekuasaan dengan pembangunan kota-kota besar. Bagi Armstrong dan ini harus diyakini oleh para pemeluk keyakinan, agama hanya diseret masuk pada wilayah profan yang rentan dengan kekerasan. Adakalanya pada tahap tertentu, agama justru dijadikan alat dan dalil penguat bagi suatu kelompok dalam menghalakan tindakan kekerasannya.
Kota-kota kuno lahir bersama pernak-pernik yang menyertainya dengan pembentukan komitmen, koordinasi, dan cita-cita manusia. Wilayah-wilayah agraris dengan mayoritas penduduk bertani bukan lahan yang tepat untuk membangun pusat kekuasaan. Pharao membangun piramida di pusat kota, orang-orang Romawi membangun kuil dan sentra-sentra kegiatan, di tengah masyarakat urban, begitu juga dengan umat Islam di abad pertengahan menumbuhkan kekuatan dan keilmuan di hiruk-pikuk dunia urban. Pada perkembangan berikutnya, nektar manis kota dan dunia urban mampu menarik minat masyarakat agraris. Urbanisasi telah menjadi gejala sosial dan diikuti oleh permasaahan yang menyertainya.
Sebuah ruang yang komplek selalu berbanding lurus dengan persoalan dan upaya penyelesaian masalah-masalahnya. Hal paling mendasar yang dialami oleh dunia urban adalah ikatan kekerabatan dan pertalian sosial warganya relatif menjadi lebih renggang. Jika tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan, biasanya hubungan antar individu perkotaan diikat oleh nilai transaksional. Di dunia agraris, kedatangan musim hujan sangat dinanti-nanti. Namun bagi dunia urban, acap kali hujan dipandang sesuatu yang harus diwaspadai. Harus diakui, nenek moyang manusia juga pernah mengalami hal yang sama, hujan dan peristiwa alam lainya dipandang sebagai hal mengerikan. Kita melihat, hubungan antara masyarakat urban dengan alam juga mulai longgar.
Mantra atau jampi penarik dari dunia urban adalah mobilitas dan pergerakan. Denyut nadi perkotaan terutama kota-kota besar hampir tidak pernah berhenti. Jalan-jalan dibangun dan diperlebar untuk mendukung mobilitas. Seperti pembuluh darah, jika mengalami penyumbatan, jalanan macet, sangat berpengaruh terhadap sel-sel darah di dalamnya. Sangat wajar, jika masyarakat perkotaan cenderung mudah tersulut emosinya jika dibandingkan dengan masyarakat perdesaan karena mobilitas atau pergerakan yang tinggi. Gerakan yang tinggi, secara alamiah akan lebih mudah menghasilkan kalor atau panas.
Jalan raya merupakan ruang publik dan destinasi masyarakat terutama dari perdesaan. Sebutan jalan raya (besar) juga dihasilkan dari proses perbandingan antara jalan-jalan yang kecil di kampung-kampung dengan jalan besar di kota. Anak-anak kampung di tahun 70-80an sudah merasa puas ketika diajak mengunjungi jalan raya oleh orangtua mereka. Seolah, jalan raya bersama toko-toko yang ada di pinggirnya merupakan tempat memamerkan hasil peradaban manusia. Seorang anak akan tercengang saat melihat lampu neon pada beberapa dekade lalu karena di rumahnya hanya baru memiliki lampu petromaks.
Sejak fajar peradaban terbit, memang sedikit sekali literatur yang mengurai persinggungan atau konflik antara masyarakat urban dengan rural perdesaan. Namun, kelahiran kota-kota di dunia disebabkan oleh semakin menghilangnya sikap agrarian dalam diri manusia. Awal mula kekuasaan muncul di muka bumi dilatarbelakangi oleh sikap jenuh nenek moyang manusia dalam memperoleh pasokan pangan. Penyederhanaan yang tepat bagi manusia-manusia di “dunia lama” untuk memperolah pangan yang cukup yaitu dengan cara merebutnya dari wilayah-wilayah agrarian, entah cara dipaksa, menerapkan upeti, sekarang kita mengenalnya dengan istilah japrem.
Orang-orang Kristen mungkin sudah tidak asing lagi dengan apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Isa (Yesus): berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. Pernyataan ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan jebakan seorang utusan Pontious Pilatus yang berupaya menjebak Nabi Isa mengingat saat itu kebijakan penerapan upeti dan pajak dari kaisar sangat memberatkan kelompok petani dan masyarakat kecil. Dari beberapa penggal sejarah kenabian dapat kita tarik kesimpulan, setiap nabi akan berada di pusaran kaum tertindas, dan kita akan mendapati rata-rata para tokoh agama selalu berada di pusat kekuasaan kota.
Salah satu nukilan kisah di atas tidak berarti kekuatan kota akan selalu menghantui perdesaan dan masyarakatnya. Apalagi di era kontemporer seperti sekarang, kita nyaris mengalami kesulitan menemukan batas dan perbedaan yang tepat antara perdesaan dengan perkotaan jika tidak diukur oleh keramaiannya. Nukilan sejarah di atas hanya untuk mengingatkan bahwa dunia urban dengan kekuasaannya sangat rentan dijadikan alat untuk menguras dan menindas. Dari era kehiudan Nabi Isa hingga penghujung abad ke-3 Masehi, setiap kekuasaan politik selalu menyuguhkan adegan bagaiana memperluas batas-batas dengan cara merampasnya dari orang lain, lantas berdalih demi meningkatkan kekuasaan dan pendapatan.
Ada alasan tersendiri kenapa orang desa, beberapa dekade lalu, selalu merasa ingin menjadi orang kota. Mentalitas transaksional di kota telah menciptakan imajinasi “apapun dapat menjadi uang jika hidup di kota” atau mengubah cara hidup masyarakat menjadi lebih urban. Situasi ini mengingatkan kita pada sejarah kehidupan manusia di “dunia lama” di awal kemunculan aristokrasi. Partai Komunis Indonesia (PKI) mungkin memiliki pikiran terbalik, keberhasilan PKI mendulang suara masyarakat perdesaan pada Pemilu 1955 adalah dengan cara membuat gap dan merekonstruksi ulang pertentangan desa dan kota. PKI memandang kota adalah kuil produk kaum kapitalis yang harus dikepung oleh kaum proletar perdesaan. Meskipun faktanya, para petinggi PKI sendiri tinggal dan menikmati suasana perkotaan.
Kita akan memiliki kesepakatan yang sama, tipikal pemerintahan saat ini mulai dari pusat hingga daerah tidak sama dengan tipikal para Pharao Mesir, Kaisar Romawi, dan para Shah Persia. Tipikal pemerintahan modern nampak berupaya mewujudkan harapan dan keinginan masyarakat secara egaliter. Tidak ada penindasan dan eksekusi dilakukan oleh pemerintah modern. Jika raja-raja dulu mengedepankan sikap bagaimana cara agar mereka ditakuti oleh rakyatnya, pemerintah modern di belahan dunia manapun saat ini selalu mengedepankan sikap bagaimana agar mereka dicintai oleh rakyatnya.
Dari tahun ke tahun triliunan anggaran dihibahkan ke setiap daerah agar pembangunan benar-benar dirasakan bukan hanya oleh masyarakat kota besar. Anak-anak beberapa dekade lalu memang harus pergi ke kota sekadar untuk melihat jalan raya atau jalan besar. Namun saat ini, jalan-jalan besar dan bagus sudah bisa dinikmati oleh anak-anak hingga ke perkampungan sekalipun.
Dapat saja, pembangunan dan pelebaran jalan ini, semula dimaksudkan sebagai penghubung antara kota dan desa. Walakin pada perkembangan berikutnya, keberadaan jalan besar ini telah menyulap wajah perkampungan menjadi karakter khas perkotaan. Antrian kendaraan tidak hanya meramaikan jalan raya, jalan di perkampungan juga sudah ramai dilalui oleh kendaraan. Perbedaan mencolok antara jalan raya dengan jalan di masa kini terletak dari cara manusia memperlakukannya.
Tiga dekade lalu, jalan raya benar-benar dijadikan tempat berjalan-jalan, sedangkan saat ini, keberadaan jalan justru telah menyebabkan orang lebih banyak mengendarai mobil dan motor. Untuk berbelanja ke warung dengan jarak 50-100 meter saja, kita sudah mulai terbiasa memalaskan diri sendiri, kita enggan untuk jalan kaki. Atas alasan begitu mudah manusia modern di lingkungan kita menggunakan kendaraan bermotor sementara orang-orang di kota-kota besar negara maju mulai memperbanyak kembali berjalan kaki, Seno Gumira Ajidarma menulis “Tiada Ojek di Paris”.
Pembangunan jalan memang sudah seharusnya diimbangi oleh ketersediaan trotoar yang luas sebagai sarana pendukung aktivitas pejalan kaki. Kota Sukabumi sudah mulai memikirkan hal ini, keberadaan pedestrian di Jl. Ir. H Juanda dan saat ini sedang membangun pedestrian Jl. Ahmad Yani dapat saja saya tafsirkan sebagai langkah awal agar jalan benar-benar dimanfaatkan kembali oleh pejalan kaki sesuai dengan namanya (jalan).
Kang Warsa, Dimuat Radar Sukabumi 04 November 2021
