Tidak jauh berbeda dengan alam pewayangan yang selalu ingar-bingar dengan pertikaian dua kekuatan besar Pandawa dan Kurawa. Dunia nyata yang realis pun tidak pernah sunyi dari gemuruh dan gempita percekcokan. Di dunia realita saat ini, sejalan dengan perkembangan teknologi, manusia telah ditempatkan pada dua ruang, realitas nyata dan realitas maya. Manusia dapat menjadi manusia yang benar-benar manusia di realitas nyata ketika mereka bercengkerama dengan sesamanya di ruang-ruang publik, di rumah, dan di tempat kerja. Dan pada saat yang sama, manusia dapat menempati realitas maya ketika bercengkerama dengan siapapun melalui media dan saluran-saluran virtual.
Alam tradisional sebetulnya tidak jauh berbeda dengan alam modern. Jika di alam modern media penyampai pesan, pikiran, dan ekspresi diri berbentuk kotak kecil bernama ponsel cerdas dan alat-alat elektronik lainnya, alam tradisional memiliki cara lain dan media lain sebagai perantara penyampai pesan, misalnya wayang. Pagelaran wayang golek atau wayang kulit selain sebagai media hiburan rakyat, juga telah menjadi tradisi dan media penyampai pesan-pesan moral di samping hiburan lain yang benar-benar lebih memperlihatkan pentas hiburan murni. Wayang tidak hanya ditampilkan melalui pentas hiburan semata, di dalamnya terjadi perpaduan setiap jenis seni dan landasan-landasan filosofis yang telah berkembang di dalam kehidupan orang-orang Nusantara.
Wayang adalah cermin atau bayangan. Sesuai dengan namanya, merupakan refleksi pemindahan alam kehidupan nyata manusia terhadap cermin alur cerita pewayangan. Manusia akan melakukan dialog batin setiap dalang mengeluarkan tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan karakter dan tingkah-polahnya. Dialog batin manusia ini merupakan cermin yang menghasilkan bayangan seperti siapa dan memiliki karakter tokoh wayang mana diri kita ini? Atau, seperti siapa tokoh wayang yang dimainkan oleh sang dalang? Pada ruang yang lebih luas, di jagat gede ini, manusia dan mahluk lainnya merupakan wayang-wayang yang tidak dapat menolak takdir dalam bingkai jabariah. Tetapi, sekaligus sebagai wayang yang memiliki kebebasan bergerak dan mengubah nasib dalam tuntunan qodariahnya.
Maka, ketika ada sekelompok orang dengan sikap arogan dan merasa dirinya sebagai perwakilan Tuhan di muka Bumi memiliki pandangan bahwa wayang merupakan hal yang diharamkan oleh ajaran dan harus dimusnahkan, pada dasarnya mereka sedang membelah cermin yang merefleksikan kekasaran wajah mereka sendiri. Ini sebanding dengan peribahasa: buruk muka cermin dibelah. Bagaimana mungkin mereka mampu memusnakan wayang sementara diri mereka dalam pergulatan kehidupan di dunia ini sedang memerankan wayang-wayang dalam bentuk manusia.
Wayang dan Kritik Sosial
Sebagai seorang muslim dan tinggal di Indonesia, penulis masih meyakini keberagamaan kita sampai saat ini merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan tradisi-tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat. Para penyebar Islam selama 800 tahun telah mampu meracik metode dan memformulasikan rumusan yang tepat agar ajaran Islam dapat diterima oleh penduduk Nusantara dengan cara damai. Tanpa pendekatan dan sikap akomodatif yang dilakukan oleh para penyebar Islam ini, ajaran Islam kemungkinan besar sulit diterima oleh penduduk Nusantara yang telah menganut keyakinan leluhur dengan keheterogenan tradisi dan kebiasaan tradisionalnya.
Sunan Kalijaga telah mampu membaca alam pikir dan psikologi orang-orang Nusantara saat itu. Tanpa mengeklaim bahwa wayang golek merupakan ciptaanya, media-media dan sarana hiburan rakyat diakomodasi oleh Sunan Kalijaga sebagai perantara penyampaian informasi ajaran agama karena pentas wayang ini telah menjadi tradisi sejak abad ke-10. Hal-hal seperti ini, metode dakwah para Wali, sebetulnya sudah dijelaskan dalam buku-buku sejarah dan saluran informasi lain. Walakin, kita sering menafikannya karena mata hati kita sering tertutup oleh kerakusan terhadap ajaran. Tanpa kecuali, wayang telah dijadikan media penyampai informasi ajaran oleh Sunan Kalijaga.
Alur cerita pewayangan mengadopsi kisah Mahabharata dari India, sebuah epos karya Vyasa mengisahkan wangsa Kuru yang berujung pada peperangan besar di Kurushetra, dalam epos ini mungkin saja perang besar Pandawa dan Kurawa disejajarkan dengan Armagedon. Kisah Mahabharata tidak sepenuhnya dipindahruangkan dari kitab ke dalam pentas wayang oleh orang-orang Nusantara. Sebelum dipentaskan dalam pewayangan, dilakukan terlebih dahulu translatasi baik dari sisi bahasa juga beberapa karakter dan tokohnya. Kitab Mahabharata versi Vyasa telah diadaptasi menjadi Adiparwa menggunakan bahasa Sansekerta kemudian di masa kerajaan Kediri (abad ke-10) dialihbahasakan oleh para mahakawi ke dalam bahasa Kawi, kitab yang memuat kisah-kisah pewayangan lengkap dengan tokoh dan karakternya.
Plot yang ditampilkan dalam cerita pewayangan merupakan stratifikasi sosial dalam kehidupan; kelas atas ditempati oleh dewa-dewi, kelas menangah ditempati oleh para ksatria, dan kelas bawah ditempati oleh cacah rakyat jelata. Di samping tiga kelas tersebut, dalam cerita pewayangan dihadirkan satu kekuatan lain yaitu wangsa raksasa. Wangsa ini menjadi musuh bersama tiga kelas karena sering menyebarkan potensi kejahatan dan memiliki sikap kemaruk. Kelas sosial dalam cerita pewayangan merupakan cermin kehidupan nyata manusia.
Stratifikasi sosial merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup, ini tidak dapat ditolak karena begitulah adanya. Dalam setiap ajaran agama keagungan dan keluhuran manusia ditentukan oleh ketakwaannya bukan oleh atribut-atribut sosial. Namun dalam praktiknya kehidupan memerlukan atribut-atribut yang membawa manusia pada perbedaan. Memang harus dipisahkan terlebih dahulu antara nilai imanen dengan hal-hal yang bersifat propan agar tidak terjadi salah duga dan prasangka kurang tepat terhadap Alloh. Tanpa melelalui pencernaan secara jernih, kita akan seperti terjatuh dalam dilema ketika kejahatan mewujud di dunia ini. Apakah kejahatan diciptakan oleh Alloh yang Maha Baik? Pertanyaan seperti ini telah dijawab oleh Rumi: lukisan yang buruk tidak bisa dijadikan bukti bahwa pelukisnya juga buruk.
Stratifikasi sosial paling atas dalam pewayangan ditempati oleh dewa-dewi dan orang-orang yang sudah tidak memiliki keterikatan diri dengan duniawi, diwakili oleh kaum brahmana, pandita, resi, atau agamawan. Deviasi atau penyimpangan karakter salah satu tokoh brahmana dilakukan terhadap Drona atau Bambang Kombayana. Dalam Mahabharata, Drona merupakan sosok baik, seorang pemuka agama, guru bagi wangsa Kuru, sangat mencintai Arjuna.
Dalam cerita pewayangan di Nusantara, Drona justru ditempatkan sebagai tokoh antagonis, kemaruk, sering berbicara tak karuan, gemar mengadu domba, dan angkuh. Pemindahan karakter dari baik ke jahat ini dilakukan sebagai sebuah kritik sosial terhadap arogansi keagamaan yang sering diperlihatkan oleh kaum agamawan. Tidak sedikit di antara mereka, kelompok yang seharusnya sudah tidak lagi terikat oleh gelimang dunia bahkan tidak diperkenankan memiliki properti pribadi, justru terjebak dan menceburkan diri pada pesona dunia, bermegah-megahan, dan memiliki fasilitas dari mulai motor gede hingga mobil mewah. Mereka, para agamawan seperti ini acap kali mengkambinghitamkan dengan menyebarkan informasi seolah-olah orang-orang suci pun melakukan hal yang sama. Milsanya, Nabi Muhammad juga merupakan orang kaya raya. Alasan ini demi melegitimasi tindakannya namun dengan cara memfitnah Rosulullah jelas merupakan perbuatan yang diwakili oleh tokoh Drona dalam pewayangan.
Stratifikasi dan lapisan sosial tengah ditempati oleh para ksatria, mereka kelompok yang mengurus masalah-masalah kerajaan, politik kerajaan, hingga kebijakan dan aturan yang mengikat masyarakat. Kaum ksatria merupakan sekelompok orang yang tidak diperkenankan memperkaya diri, mendapatkan gaji tetap dari kerajaan, dan difasilitasi sepenuhnya oleh kerajaan atau negara. Akan sangat aneh di zaman ini jika ada seorang ksatria berani memperkaya diri tanpa menyadari bahwa dirinya sebagai ksatria. Kelas ini sebagai jembatan penghubung rakyat biasa kepada kelompok atas, meskipun dalam cerita pewayangan yang sering kita saksikan sudah tidak ada lagi alur seperti ini. Dalam pewayangan kontemporer, seorang dewa seperti Krisna malahan dapat turun ke Bumi dan langsung mendatangi kampung Tumaritis menemui para tokoh punakawan. Seperti halnya sekarang, para gegeden dari pusat sering turun ke bawah untuk mengkompromikan persoalan “dukung-mendukung”.
Stratifikasi sosial terbawah ditempati oleh rakyat biasa, dalam pewayangan diwakili oleh para punakawan. Karakter-karakter yang diperlihatkan oleh Semar dan anak-anaknya adalah iklim rural perdesaan, cenderung norak dan kampungan. Saat mereka memasuki keraton dan istana kerajaan di Astinapura tetap memegang teguh tingkah konyolnya. Dalam suasana apapun, rakyat dipaksa untuk tetap sabar, tersenyum, nerima, legowo, menghibur diri, dan sesekali bertingkah konyol. Walakin penting diketahui, para punakawan sebetulnya merupakan para dewa yang diturunkan ke Bumi karena merasa tidak cocok dengan kehidupan alam kahyangan kemudian menjelma menjadi rupa manusia dengan bentuk aneh. Hanya orang-orang tertentu dengan mata batin dan hati bersih yang dapat melihat wujud asli para punakawan ini. Dalam dramaturgi modern, para punakawan adalah rakyat –sesuai dengan Undang-Undang- sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat dapat menjadi apa saja melalui cara yang tepat sesuai konstitusi. Rakyat dapat menjadi anggota parlemen, kepala negara, kepala daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.
Adakalanya ketika seseorang dari rakyat biasa (kelompok bawah) unggah menempati stratifikasi di atasnya sering lupa diri. Bayangkan jika seorang Cepot atau Sastrajingga menjadi wakil rakyat atau kepala daerah? Tentu saja kebijakan-kebijakannya akan terlihat penuh kekonyolan, aji mumpung (mangpang-meungpeung), jojodog unggah ka salu. Seperti kita saksikan sekarang, ketika rakyat beralih menempati kelas sosial bagian atas, banyak yang lupa diri, lupa daratan, kacang lupa kulitnya, memperkaya diri, mumpung masih menjabat terus memperjuangkan kelompoknya. Kita tentu pernah mendengarkan atau menyaksikan pentas wayang dengan cerita Dawala jadi Ratu, bukan? Itulah gambaran atau bayangan (wayangan) ketika rakyat perdesaan udik menjadi raja.
Pementasan wayang biasa diselenggarakan dalam skala besar dan di hari besar, tempat yang digunakan juga harus lapangan luas terbuka, halaman istana, atau buruan pendopo. Para menak dan kelompok ksatria sengaja menjadi tuan rumah pementasan wayang. Dengan tanpa sadar, mereka ingin bercermin pada pentas wayang seperti apa sebetulnya rupa diri mereka jika disandingkan dengan tokoh pewayangan. Cermin lebih sering menginformasikan bayangan yang sesuai dengan benda aslinya meskipun kadang terbalik.
Radar Sukabumi, 17 Februari 2022
